Minggu, 02 Agustus 2009

Perkawinan menurut Buddha

Agama Buddha.
Agama Buddha ajarannya berdasarkan pengalaman–pengalaman pribadi Siddhatta yang dikenal dengan Siddharta Gautama, Gotama nama keluarga, bertempat tinggal di India Utara di Kapilavatthu pada abad ke enam S.M. putra Suddhodana seorang Raja yang berkuasa di kerajaan wangsa Sakya sekarang dikenal dengan Nepal dari seorang ibu yang bernama Maya Devi.

Hidup penuh dengan kemewahan di dalam istana dan jauh dari pendritaan yang sangat pada masyarakat umumnya, telah menyadarkan Sidharta untuk mencari pencerahan hidup hakiki.

Buddha berasal dari kata “buddh” artinya bangkit atau bangun, mengandung makna pencerahan, mengetahui dan mengerti. Secara umum Buddha dapat diartikan sebagai seseorang yang telah memperoleh kebijaksanaan sempurna, orang yang sadar dan siap menyadarkan orang lain, dan orang yang bersih dari kebencian, serakah dan kegelapan.

Sang Buddha atau Siddharta Gautama yang diakui sebagai pendiri dan sekaligus guru agama Buddha oleh penganutnya, Buddha tidak pernah menyatakan dirinya sebagai manusia luar biasa atau bukan manusia biasa dan juga menyatakan tidak pernah memperoleh wahyu dari “Satu Kekuasaan Luar” yang manapun juga, dikatakan bahwa semua penyelaman Kesunyataan, pengalaman dan penerangan yang diperolehnya, semata-mata berkat usaha, jerih payah dan kecerdasan seorang manusia biasa.

Seorang manusia biasa sajalah yang dapat menjadi Buddha, karena di dalam diri seorang manusia terdapat kekuatan yang dapat membawa ia menjadi Buddha asal saja ia mau berusaha.

Menurut agama Buddha, hanya seorang manusialah yang tertinggi kedudukannya. Seorang manusia menjadi Tuan dari dirinya sendiri dan tidak ada kekuasaan yang lebih tinggi yang dapat menentukan nasibnya.

Buddha mengajarkan kepada murid-muridnya untuk mencari perlindungan pada diri sendiri dan jangan sekali-kali mencari perlindungan pada orang lain, menganjurkan dan mendorong setiap orang untuk berusaha dengan kekuatan sendiri karena dalam diri sendiri sesungguhnya terdapat kekuatan yang dapat membebaskan dari semua belenggu dengan usaha dan kecerdasan sendiri.

Buddha mengajarkan pada murid-muridnya untuk tidak percaya begitu saja kepada sesuatu yang didesas-desuskan. Jangan percaya begitu saja kepada sesuatu yang katanya sudah diramalkan dalam buku suci, juga kepada sesuatu yang katanya sesuai dengan logika atau kesimpulan belaka, juga kepada sesuatu yang katanya telah direnungkan dengan seksama, juga karena cocok dengan pandangan atau karena menghormati seseorang, untuk itu segala sesuatu harus diselidiki terlebih dahulu.

Kebebasan berpikir dalam agama Buddha sangat unik dan tidak dikenal dalam agama-agama lain, kebebasan itu perlu, sebab hanya dengan adanya kebebasan ini orang dapat mencapai hasil tertinggi. Orang harus menyelami karena usaha dan daya upayanya sendiri dan tidak mungkin diperoleh karena belas kasihan dari guru-guru luar atau dari “Kekuatan Tinggi”.

Siddharta Gautama yang juga disebut Buddha diartikan sebagai seorang yang telah memperoleh kebijakan sempurna, orang yang sadar dan siap menyadarkan orang lain agar bersih dari kebencian atau dosa, keserakahan atau lobha dan kegelapan atau mo ha.

Pangkal dari ajaran Buddha pada Kitab Tripitaka yang berarti tiga keranjang berupa percakapan atau komunikasi antara Buddha dengan para pengikutnya dan juga dengan sesama murid.

Tiga bagian dari Kitab Tri Pitaka;

Pertama Kitab Vinaya Pitaka, berisi peraturan bagi para bhiku dan bikkhuni yang terdiri atas Sutra Vibanga, Khandaka dan Parivara;

Kedua Kitab Sutra Pitaka, berisi uraian-uraian tentang cara hidup yang berguna yang terdiri atas Dighanikaya, Majjhimanikaya, Angutaranikaya, Samyuttanikaya, dan Khuddakanikaya;

Ketiga Kitab Abhidarma Pitaka, berisi Filsafat Buddha Dharma, mencakup bidang-bidang etika, psikologi, logika dan metafisika, terdiri atas Dhammasangani, Vibhanga, Dathukatha, Pungglapan-natti, Kathavatthu, Yamaka dan Patthana.

Pada awalnya ajaran Agama Buddha tidak bertitik tolak pada Ketuhanan tetapi berdasarkan kenyataan dan pengalaman hidup manusia. Ajaran Ketuhanan muncul dengan munculnya aliran Theravada dan aliran Mahayana.

Theravada tetap akan mempertahankan kemurnian ajaran Buddha dengan menyatakan bahwa Tuhan tidak dilahirkan, tidak menderita, tidak menjelma, tidak tercipta, hidup tanpa roh, kuasa tanpa alat, tidak ada awal tidak ada akhir, tidak dapat diapa-apakan, tidak kenal masa dan pemberhentian dan tidak terhingga.

Tuhan tidak memiliki sebab akibat dengan alam semesta, karena jika demikian halnya, maka hubungan yang terjadi bersifat relatif.

Kebuddhaan seseorang diukur akhir mencapai Nibbhana, yakni dengan jalan meleyapkan nafsu, dosa dan kegelapan batin.

Aliran Mahayana menyatakan bahwa Siddharta Gautama merupakan bagian rangkaian banyak Buddha, di dalam diri seseorang selalu mempunyai unsur Kebuddhaan yang disebut tathagagarbha atau rahim Kebuddhaan, dan buddhabija atau benih Buddha. Karena antara Buddha yang satu dan lainnya berbeda, maka dalam perkembangannya muncul beberapa doktrin, diantaranya doktrin Trikaya, Adi Buddha di Indonesia, Tentang Alam, Tentang Manusia dan Menuju Nirwana.

Etika Buddha pada dasarnya mengajarkan; Tidak berbuat kejahatan, meningkatkan kebaikan, dan menyucikan batin. Buddha memandang manusia yang bertanggung jawab atas nasibnya sendiri, mampu memperbaiki sendiri memperbaiki hidupnya dan mencapai pembebasan.

Buddha mengakui nilai-nilai manusiawi dalam segala seginya. Pikiran, ucapan dan perbuatan manusia membawa tanggung jawab moral dan memungkinkan perkembangan pribadi untuk meningkatkan martabat manusia.

Kedudukan manusia tertinggi, tuan bagi dirinya sendiri, tidak ada mahluk lain yang berkuasa atas dirinya, kegagalan dan keberhasilan merupakan hasil dari kemauan dan perbuatannya sendiri. Jika seseorang menghargai hidupnya sendiri, maka harus pula menjaganya baik-baik dan hidup secara lurus.
Berpijak pada pemahaman bahwa tidak ada yang lebih berharga bagi manusia daripada hidupnya sendiri, maka ia pun harus menghargai dan menghormati hidup orang lain seperti hidupnya sendiri.

Perkawinan menurut Agama buddha.
Buddha tidak pernah mengajarkan keharusan atau larangan khususnya dalam perkawinan dan berdasarkan ajaran kebebasan itulah maka penganut Buddha diperbolehkan atau tidak dilarang seorang pria Buddha mengikat perkawinan dengan wanita non Buddhis, demikian juga dengan wanita Buddhis diperbolehkan atau tidak dilarang mengikat perkawinan dengan pria non Buddha.

Bukan hanya kebebasan berpikir, tetapi juga toleransi yang diajarkan Buddha kepada murid-muridnya maka penganut Buddha bebas memilih pasangan hidupnya dalam suatu ikatan perkawinan tanpa memandang agamanya.

Meskipun bebas berpikir tetapi Buddha mengajarkan hubungan antara suami-istri merupakan hubungan yang suci dan keramat atau penghidupan keluarga yang keramat atau Sadara-Brahma-cariya, tekanan diberikan kepada istilah “Brahma” merupakan penghormatan tertinggi diberikan kepada hubungan suami-istri, karena suami istri harus setia, saling mencintai, saling berbakti dan mempunyai kewajiban tertentu terhadap satu dengan yang lain.

Suami harus selalu menghormati istrinya dan menjaga jangan sampai kekurangan apa-apa. Ia harus mencintainya dan setia kepadanya, harus membe-rikan kedudukan dan kesenangan kepada istrinya dan harus memberikan pakaian dan perhiasan.

Sebaliknya istri juga harus mengawasi dan mengurus rumah tangga, harus menjamu sahabat-sahabat, tamu-tamu, keluarga dan pegawai suami, harus mencintai dan setia kepada suaminya, harus melindungi pencaharian suami, serta harus pintar dan rajin dalam semua pekerjaannya.